Diplomasi Indonesia Era Kerajaan Nusantara

Diplomasi Era Kerajaan Sriwijaya
Menurut catatan dari I Tsing kerajaan ini sudah berdiri sejak tahun 671 M. Sriwijaya merupakan symbol kebesaran Sumatra awal, dan juga sebagai kerajaan besar nusantara. Kerajaan sriwijaya merupakan pusat perdagangan dan juga sebagai Negara maritime. Sriwjaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritime di selat Malaka, selat Sunda, Laut Cina Selatan, laut Jawa, serta selat Karimata. Hal ini menjadi bukti bahwa diplomasi kerajaan sriwijaya cukup kuat. Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Sriwijaya pada masa pemerintahan Sri Jayanasa telah melakukan ekspedisi militer ke pulau Jawa karena dianggap tidak mematuhi dan berbakti pada pemerintahan Sriwijaya.
Karena ekspansi kerajaan ini ke semenanjunga Malaya dan pulau Jawa, membuat Sriwijaya dapat mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Di Kamboja dan Thailand juga didapati reruntuhan candi-candi peninggalan kerajaan Sriwijaya ini. Menurut sejarah, Maharaja Dharmasetu melakukan serangan ke kota-kota pantai di Indochina pada abad ke-7. Selain itu, untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia tenggara, Sriwijaya melakukan hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Karena kemasyuran kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, membuat tingginya minat para pedagang muslim yang berasal dari Timur Tengah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa akibat pengaruh muslim Arab di Sriwijaya, salah satu raja Sriwijaya yang bernama Indrawarman masuk islam. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke Khalifah Islam di Suriah.

Diplomasi Era Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan Negara Agraris sekaligus Negara perdagangan. Daerah kekuasaan Majapahit yakni meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian Kepulauan Filipina. Majapahit disebut juga mempunyai hubungan diplomatic dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam. Selain itu Kerajaan ini juga pernah mengirimkan duta-duta nya ke Tiongkok. Penjalinan persekutuan dengan kerajaan Sunda dilakukan oleh Majapahit dengan melamar putri kerajaan tersebut sebagai permaisurinya.
Namun setelah hubungan diplomatic dan persekutuan dengan kerajaan Sunda tersebut, Gajah Mada sebagai Maha patih kerajaan Majapahit melihat hal itu sebagai peluang untuk menaklukkan kerajaan Sunda dibawah kerajaan Majapahit. Hal ini menyebabkan munculnya perang antara kedua Negara tersebut yang kerajaan Sunda dikalahkan oleh Majapahit. Perang ini dinamakan perang Bubat karena terjadi di lapangan Bubat.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak mampu lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang mana pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu persatu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Diplomasi Era Kerajaan Islam Nusantara
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani umayyah di Asia Barat sejak abad 7. Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada.
Penyebaran islam ini di dorong dengan adanya hubungan perdagangan di luar nusantara. Hal ini dikarenakan mubaligh-mubaligh penyebar agama islam tersebut mencari nafkah melalui perdagangan. Para mubaligh ini sampailah ke nusantara dan melakukan perdagangan dengan pedagang-pedagang dalam nusantara, hingga melalui cara berdagang ini para mubaligh tersebut menyebarkan islam pada pedagang-pedagang tersebut. Dari para pedagang ini kemudian tersebar juga ke penduduk lainnya. Dari sini kemudian muncullah kerajaan-kerajaan islam nusantara, seperti, Samudra Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram di Jawa Tengah, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku di timur.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan Hindu. Contohnya, ratu dari Champa yang bernama Darmawanti yang menikah dengan Kertawijaya yang menjadi raja di Majapahit pada tahun 1447 mengajak suaminya itu masuk islam. Pada masa kerajaan islam ini hubungan diplomasi dengan kekaisaran China berjalan dengan baik. Karena pada masa itu ada kaisar China yang beragama islam, yang kemudian mengirim panglima besar nya yakni Laksamana Chengho ke Indonesia untuk menjalankan islamisasi di pulau Jawa. Dapat disimpulkan bahwa kuatnya hubungan diplomatik nusantara pada masa kerajaan islam didorong dengan kuatnya keinginan untuk berdakwah dan menyebarkan agama islam di negeri ini.

Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya
http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia#Kerajaan_Islam

The Twenty Years Crisis: Telaah atas Pemikiran Realisme Politik Edward Hallet Carr

Tulisan ini merupakan summary dari buku jurnal The Twenty Years Crisis: telaah atas Pemikiran Realisme Politik Edward Hallet Carr yang ditulis oleh Asrudin pada Jurnal Verivy Tahun 2 Nomor 3 Januari-Juni 2010. Summary ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Hubungan Internasional.
Pendahuluan
Edward Hallet Carr merupakan tokoh hubungan internasional yang beraliran realism modern. Ia mengkritik paham idealis-utopian dalam bukunya yang berjudul The Twenty Years Crisis. Carr menyatakan bahwa kaum idealis-utopian tersebut telah gagal dalam memahami realitas hubungan internasional pada masa itu, yang mana mereka hanya mengedepankan aspek etika-moral dan mengesampingkan aspek power politics. Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dibentuk oleh kaum idealis untuk menciptakan perdamaian dunia tidak berhasil, dan malah konflik militer yang terjadi di dunia internasional berasal dari anggota LBB itu sendiri.
Jurnal Telaah atas Pemikiran Relaisme Politik Edward Hallet Carr yang ditulis Asrudin ini menganalisa buku karangan Carr, khususnya mengenai pemikiran realism politik dan kritiknya terhadap pemikiran kaum idealis-utopian. Asrudin membagi lima topic pembahasan dalam jurnal nya ini. Pertama memaparkan secara ringkas biografi Edward Hallet Carr; kedua, mengulas pemikiran Carr tentang realism politik; ketiga, memetakan pembedaan Carr atas realism dan idealism-utopian; keempat, kritik Carr terhadap pemikiran kaum idealism-utopian; terakhir, memberikan kesimpulan untuk menunjukkan bahwa analisis Carr tentang Negara dan power politics dalam hubungan internasional tetap relevan hingga saat ini .
Biografi Singkat Edward Hallet Carr
Carr berasal dari keluarga kelas menengah di London. Ia mengenyam pendidikan di Trinity Collage, Cambridge, dan mendapat ranking pertama di bidang klasik tahun 1916. Dari Cambridge ini Carr banyak mendapatkan pelajaran sejarah dan realism politik. Awalnya Carr mulai mengikuti kuliah seorang professor yang banyak mengkaji tentang karya Thucydides (The Peloponnesian War) dan karya Herodotus (The Histories). Menurut Carr, dua karya ini merupakan penemuan besar dalam ilmu pengetahuan sejarah dan realism politik dalam hubungan internasional.
Carr memulai karir sebagai diplomat pada tahun1916 setelah ia menamatkan pendidikkan di Cambridge. Namun pada tahun 1936 Carr mengundurkan diri dari Departemen Luar Negeri Inggris dan memulai karir sebagai akademisi. Hal ini di karenakan ketertarikkannya pada studi hubungan internasional dan sejarah Uni Sovyet.
Banyak buku yang telah ditulis oleh Carr selama ia berada di dunia akademisi ini. Termasuk salah satu yang fenomenal ialah The Twenty Years Crisis yang ditulis pada tahun 1939. Melalui buku tersebut, Carr dinilai oleh ilmuwan HI sebagai orang pertama yang mempopulerkan paradigma realism politik dalam teori HI.
Konseptualitas Realisme Politik Carr
Carr menyatakan bahwa awal kemunculan ilmu HI didasarkan pada kebutuhan untuk memecahkan problem-problem politik seperti perang. Jadi, tugas para ilmuwan HI yakni mencari solusi pada setiap masalah HI tersebut. Caranya yakni dengan melakukan penelitian. Dari penelitian tersebut kemudian dapat dijawab apa yang menjadi penyebab perang dan cara-cara menyiasati perang tersebut.
Aliran idealism-utopian melakukan penelitian dengan membuat model bagaimana menghilangkan perang dan mengubah tatanan dalam sebuah fenomena. Namun aliran ini mengabaikan persoalan apa yang menyebabkan konflik itu terjadi. Inilah yang membuat Carr melakukan kritik atas aliran idealism-utopian ini dan menciptakan model penelitian aliran realism politik. Carr menyatakan bahwa idealism-utopian ini merupakan hal yang tidak realistis dan hanya sebuah angan-angan saja. Keinginan untuk menciptakan pemerintahan dunia dan keamanan kolektif tidak akan dapat dicapai selama kedaulatan masih melekat dalam tubuh Negara. Aliran realism politik yang dibawa oleh Carr ini menitikberatkan pada penerimaan fakta dan analisis kausalitas.
Carr dalam bukunya The Twenty Years Crisis menekankan pentingnya power politics dalam analisis realism. Pada saat itu banyak pemikiran yang menolak power ini. Jadi disini Carr bermaksud untuk meluruskan kesalahan-kesalahan dalam pemikiran idealistis tersebut. Ia mengatakan bahwa kalangan idealis-utopian percaya pada kemungkinan untuk menolak realitas secara lebih radikal, dan mengubahnya melalui sebuah perjanjian.
Carr juga menegaskan bahwa power adalah sebuah unsure esensial dalam politik. Sehingga meskipun setiap Negara selalu menggunakan retorika moralitas dari idealism-utopian untuk membenarkan tindakan mereka, namun kenyataannya motif mereka didasari oleh kepentingan diri sendiri berdasarkan kalkulasi balance of power. Jadi dapat disimpulkan disini bahwa pemikiran realis politik Carr berdiri atas dasar kritiknya terhadap pandangan idealism-utopian.
Pembedaan Carr atas Realisme dan Idealisme-Utopian
Ada empat hal penting yang membedakan antara realism dan idealism-utopian. Pertama, deskripsi skematik antara dua aliran itu. Kaum idealis percaya akan tercapainya transformasi masyarakat yang ideal. Namun masalahnya disini kaum idealis-utopian mengabaikan hambatan-hambatan tercapainya suatu kondisi yang ideal. Para pemikir idealis sangat menginginkan perdamaian dunia, namun dalam hal merancang bagaimana itu bisa terwujud kurang disiasati. Sedangkan dalam pemikiran realis, realitas sosial ialah produk dari suatu rantai panjang kausalitas. Jadi realitas sosial tidak dapat di ubah begitu saja melalui suatu perjanjian.
Kedua, mengenai teori dan praktik. Menurut pandangan idealism-utopian, jika suatu ide atau teori lahir, maka harus langsung dilakukan untuk mewujudkannya. Namun dalam konteks ini kaum idealis ini tidak dapat menjawab masalah tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya terjadi. Sedangkan kaum realis mengambil teori dari suatu realitas atau praktis yang berbeda dengan pandangan idealis yang mengacu pada ide.
Ketiga, pertentangan “kiri” dan “kanan”. Pertentangan kiri dan kanan ialah pertentangan antara golongan radikal(idealism-utopian) yang diasosiasikan golongan kiri dan golongan konservatif (realis) yang diasosiasikan golongan kanan. “kiri” lemah dalam hal teori ke praktek sedangkan “kanan” lemah dalam teori tapi kuat dalam praktek, “kiri memiliki gagasan dan “kanan” mempunyai kebijakannya.
Keempat, etika dan politik. Pada idealism-utopian etika merupakan kekuatan untuk memandu kebijakan luar negeri. Sedangkan realis menyatakan bahwa politik lebih memegang control daripada etika. Selain itu kaum realis beranggapan bahwa tidak ada kebaikan etik dalam realitas politik.
Kritik Carr atas Idealisme-Utopian
Carr mengatakan bahwa asumsi idealisme-utopian kurang relevan mendeskripsikan situasi dan kondisi politik pada masa itu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya peristiwa-peristiwa tragis pada tahun 1930-an, adanya perebutan kekuasaan di antara Negara-bangasa, serta kesalahan public mengenai pendukungan terhadap pasifisme.
Kaum idealis dianggap terlalu percaya diri dalam mengaktualisasikan gagasan mereka. Berpijak pada karakter normative akan melahirkan suatu studi yang bersifat imajiatif, yakni hanya melihat apa yang seharusnya terjadi bukan pada apa yang sebenarnya telah terjadi. Idealis percaya bahwa Negara secara umum menginginkan perdamaian, namun kadang-kadang melakukan tindakan yang ceroboh dan berlaku anarkis. Namun hal ini menurut Carr tindakan ini merupakan ekspresi dari suatu kepuasan power dalam bentuk kepentingan pribadi suatu Negara-bangsa untuk melawan “status quo”. Pasca Perang Dunia I, pandangan idealism-utopian telah menjadi alat kepentingan dan merupakan selubung kepentingan istimewa status quo.
Menurut Carr, pandangan-pandangan absolute dan prinsip-prinsip universal seperti perdamaian, cita-cita harmonis, keamanan kolektif, dan perdagangan bebas merupakan hal yang tidak berdasar sama sekali. Menurutnya lagi prinsip-prinsip itu muncul dari sebuah keegoisan dan maksud-maksud elitis demi memuaskan hasrat kekuasaan.
Jadi, Carr beranggapan bahwa krisis yang terjadi pada 1919-1939 merupakan konsekuensi dari hubungan internasional pada masa tersebut. Pertimbangan etika-moral hanyalah produk dari Negara-negara kuat, seperti hal nya LBB yang merupakan hasil bentukan dari Negara Amerika Serikat dan Inggris. Ketika etika-moral menghambat kepentingan Negara-negara kuat, maka akan timbullah aspek power politics.
Penutup
Dalam buku The Twenty Years Crisis, Carr memberikan solusi dalam memahami hubungan internasional ialah dengan melihat atas dasar fakta, bukan atas gagasan ataupun ide-ide yang meniadakan realitas. Bukti yang paling nyata dari kegagalan idealism-utopian ialah krisis 20 tahun yang terjadi pada masa perang dunia I.
Asrudin menambahkan dalam jurnal nya bahwa suatu hal yang sungguh luar biasa dari karya The Twenty Years Crisis karena telah menginspirasi para pemikir idealism-utopian dalam membuat buku serupa. Hal ini membuktikan bahwa adanya pengakuan dari kaum idealis-utopian terhadap realisme Carr yang berarti juga pemikirannya itu tetap relevan hingga saat ini.
Referensi
Asrudin. The Tewnty Years Crisis: Telaah atas Pemikiran realism politik Edward Hallet Carr. Jurnal Verivy Tahun 2 nomor 3 januari-juni 2010.

konsep diplomasi

A. Definisi Diplomasi
Menurut Nicholson Diplomasi berasal dari kata “diploun” yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “melipat”. Sedangkan pada zaman kerajaan Romawi terdapat surat-surat jalan yang dicetak melalui piringan logam yang disebut dengan diplomas.
Definisi dari diplomasi menurut The Oxford English Dictionary yaitu manajemen hubungan internasional melalui negoisasi yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil; bisnis atau seni para diplomat. Sedangkan The Chamber’s Twentieth Century Dictionary mengatakan bahwa diplomasi adalah seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara Negara-negara; keahlian politik.
Selain dari definisi diatas terdapat juga beberapa definisi lain yang berasal dari pendapat para ahli, berikut penjelasannya:
Sir Earnest Satow dalam buku Guide To Diplomatic Practice: “penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antar pemerintah Negara-negara berdaulat”.
Harold Nicholson: “ terdapat lima hal dalam diplomasi; 1. Politik luar negeri, 2. Negosiasi, 3. Mekanisme pelaksanaan negosiasi tersebut, 4. Suatu cabang dinas luar negeri, 5. Mencakup keahlian dalam pelaksanaan negosiasi internasional.
KM Panikkar dalam buku The Principle and Practice of Diplomacy: ”diplomasi, dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara lain”.
Ivo D. Duchacek : “diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu Negara dengan cara negosiasi dengan Negara lain”.
Clausewitz, seorang filsuf jerman: “perang merupakan kelanjutan dari diplomasi dengan melalui sarana lain.
Dari beberapa definisi diatas, dapat diambil beberapa poin penting dari pengertian diplomasi tersebut. Pertama, unsure pokok dari diplomasi adalah negosiasi. Kedua, negosiasi yang dilakukan itu untuk kepentingan Negara yang bersangkutan. Ketiga, diplomasi ini dilakukan untuk kepentingan nasional yang dilaksanakan dengan cara yang damai. Keempat, perang merupakan sarana lain jika cara damai tidak lagi dapat ditempuh. Kelima, diplomasi berkaitan dengan politik luar negeri suatu Negara. Keenam, system Negara merupakan bentuk diplomasi modern. Ketujuh, perwakilan Negara merupakan suatu bagian dari diplomasi.
Jadi, diplomasi dapat diartikan sebagai seni suatu Negara untuk berhubungan dengan Negara lain yang mana untuk memenuhi kepentingan Negara itu sendiri, dan jika tidak bisa diambil jalan damai maka perang adalah sarana lain.
B. Tujuan Diplomasi
Menurut Kautilya tujuan utama diplomasi yaitu “pengamanan kepentingan Negara sendiri”. Atau bisa dikatakan bahwa tujuan diplomasi merupakan penjaminan keunntungan maksimum Negara sendiri. Selain dari itu juga terdapat kepentingan lainnya, seperti ekonomi, perdagangan dan kepentingan komersial, perlindungan warga Negara yang berada dinegara lain, pengembangan budaya dan ideology, peningkatan prestise, bersahabat dengan Negara lain, dan lain lain.
Tujuan untuk pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorial suatu negara biasanya merupakan hal paling utama dalam diplomasi walaupun tidak bisa dipungkiri tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi, budaya, dan lainnya. Tujuan pokok lain yakni mencegah Negara-negara lain melawan suatu Negara tertentu.
C. Metoda Diplomasi
Untuk mencapai kebebasan politik dan keamanan Negara, maka dalam diplomasi hal tersebut dapat dicapai dengan memperkuat hubungan dengan Negara sahabat, memelihara hubungan dengan Negara-negara yang sehaluan, dan menetralisir Negara-negara yang memusuhi.
Untuk mencegah Negara-negara lain bergabung melawan Negara tertentu maka dapat dilakukan dengan melakukan suatu bentuk saling pengertian dengan suatu Negara, menunjukkan suatu itikad baik dan menghilangkan keraguan Negara lain sehubungan dengan persekutuan politik, dan sebagainya. Selain dari itu perang juga merupakan suatu bentuk diplomasi yang mana jika suatu Negara dengan Negara lain tidak dapat lagi melakukan hubungan yang damai.
D. Instrument Diplomasi
Ada empat prinsip utama dari instrument diplomasi menurut Kautilya, yakni sama, dana, danda, dan bedha, maksudnya ialah perdamaian atau negosiasi, member hadiah atau konsensi, menciptakan perselisihan, mengancam atau menggunakan kekuatan nyata. Sedangkan penulis modern menyatakan tiga bentuk pencapaian diplomasi, antara lain kerja sama (cooperation), penyesuaian (accommodation), dan penentangan (opposition).

Referensi
Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Pers.