cerpen: Rindu dan Penyesalan di Masjid Terakhir

Tak terasa, air mata ku berguguran tepat dengan gugurnya daun-daun yang memang sudah mulai menipis dari sebuah pohon di depan mesjid Al Badr di kota Lille, Perancis, dimana aku sedang duduk termangu di beranda masjid tersebut. Jilbabku yang menjuntai hingga ke dada kugunakan untuk menyapu titik-titik mungil dipipi ini. “assalamualaikum mademoiselle, sebentar lagi waktu berbuka puasa, apa anda mau bergabung dengan kami di dalam?” terdengar suara serak dari arah belakangku. Sontak aku berbalik kearah suara tersebut, namun aku tetap terdiam di depan pria paruh baya dengan kulit coklat dan jenggot panjang yang sebagian sudah mulai memutih itu, dari wajahnya sudah dapat ditebak pria ini keturunan Pakistan. “ayo masuk” bapak itu mengajakku lagi. “ya monsieur” akhirnya aku menjawab.
***
Ya, awal musim gugur kali ini bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tahun ini juga merupakan kali kedua ramadhan ku di Lille, kota yang terletak beberapa kilometer di utara kota Paris. Semenjak papaku yang merupakan keturunan Indonesia asli meninggal dunia dua tahun lalu di kampungnya, Bandung Jawa Barat, aku, kakak, beserta mamaku pindah kekota kelahiran mama di Lille. Mamaku terlahir dari keluarga muslim di Perancis. Ayahnya seorang keturunan Pakistan dan Ibunya keturunan asli Perancis yang masuk islam setelah menikah dengan suaminya yang muslim itu. Papa dan mamaku bertemu di kota Paris ketika papa menyelesaikan studi S2 nya di sana.
Ramadhan sebelum dua tahun ini, biasa kami lewati di kota Bandung, kampung sekaligus tempat mendiang papa bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah universitas terkemuka di kota tersebut. Sambutan terhadap bulan ramadhan sungguh terasa berbeda antara kota Bandung yang mayoritas muslim dengan kota Lille yang mana muslim merupakan minoritas. Banyaknya masjid di kota Bandung membuat lantunan ayat-ayat Al Quran terdengar dimana-mana, terutama setelah shalat tarawih berjamaah yang mana setelah itu beberapa orang melakukan tadarus menggunakan mikrofon. Sedangkan di Lille, walaupun muslim merupakan minoritas terbesar disana, pembangunan masjid tidaklah banyak, dan suara azan saja dibatasi.
***
“silahkan diminum, sudah waktunya berbuka puasa”, suara bapak tadi membuyarkan lamunanku, “mercy monsieur” ucapku. Di suatu ruangan dalam masjid Al Badr, saya, bapak paruh baya tadi, dan beberapa orang anak menyantap hidangan berbuka puasa yang terdiri dari air putih, beberapa biji kurma, dan beberapa manisan lainnya. Setelah meminum segelas air putih dan tiga biji kurma sang bapak mengajak salah seorang anak laki-laki yang paling besar diantara anak-anak lainnya kesisi lain dari masjid, aku jadi ingat akan sebuah hadits yang pernah kubaca bahwa Rasulullah saw cukup dengan meminum segelas air putih dan tiga biji kurma, beliau dapat melanjutkan aktivitas lagi setelah seharian berpuasa. Kemudian di tempat tadi anak itu berdiri menghadap kiblat dan bapak paruh baya itu duduk dibelakang anak tersebut. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara merdu yang melantunkan asma Allah, ya, anak tersebut sedang melakukan panggilan pada umat muslim untuk melaksanakan shalat magrib. Namun sangat disayangkan suara merdu azan tersebut mungkin hanya terdengar oleh beberapa rumah didekat masjid ini.
Didalam ruangan tadi, aku mulai bertanya-tanya pada anak-anak yang berada disana mengenai bapak itu. Dari cerita mereka, akhirnya aku tahu bahwa bapak tadi ialah imam besar masjid ini dan anak-anak yang ada disini ialah murid-murid yang belajar ilmu agama dengan beliau dan menetap selama bulan ramadhan di masjid tersebut. Dari salah seorang anak yang walaupun tampak kecil namun dari cara bicaranya menunjukkan kedewasaan diri, akupun mengetahui bahwa sang imam tadi baru ditinggal istrinya karena meninggal ketika mengandung anak mereka beberapa bulan lalu.
“mari kita shalat”, bapak itu berkata sambil tersenyum kepada kami yang tengah asyik bercerita. Saya pun melihat kearah luar masjid dan rupanya orang-orang sudah mulai berdatangan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Akupun pergi mengambil wudhu, dan kemudian ikut dalam shaf belakang tempat para muslimah. Tak lupa aku mengambil mukena yang berada didalam tas. Walaupun sudah dua tahun di Perancis, budaya Indonesia tak lantas kutinggal begitu saja.
“Allahuakbar…”, suara takbir dari imam terdengar jelas di telingaku. Namun ketika shalat berlangsung, pikiranku menjadi tidak karuan. Tidak tahu kenapa, konsentrasiku untuk shalat secara khusyukpun buyar. Terlebih lagi ketika sujud terakhir, bayangan wajah papa selalu melintas di benakku, kenangan-kenangan dengannya terputar kembali dalam memori diriku ini. Tanpa kusadari air mata menetes perlahan.
***
“nak, kamu pasti akan terlihat lebih cantik jika memakai pakaian muslimah” papaku berujar kepadaku yang sedang menyantap hidangan berbuka puasa. “Lihatlah kakakmu, Sharmina, ia terlihat begitu anggun dengan balutan jilbab yang menutupi kepalanya” lanjutnya, “ahh… papa ini sok tahu” balasku singkat, dalam pikiranku berkata bahwa banyak teman-teman yang memuji kecantikan rambutku, tidak mungkin kututup indahnya rambut ini. “bukan begitu anakku, papa ingin kalian menjadi anak yang shalehah, dan…” sebelum papa melanjutkan perkataannya langsung kupotong, “ihh… memakai jilbab emang harus ada paksaan ya? Kan Negara kita Negara demokrasi pa… ya terserah dong kalau aku mau pakai atau tidak”. “bicara yang sopan sama orang tua dek!!!” kakakku memarahiku karena jawaban ketus yang terlontar olehku tadi. Mama pun ikut memarahiku, tapi papa meredam kemarahan mereka dengan tersenyum dan berkata “tidak apa-apa, Zuhayra kan masih muda, hal yang biasa jika emosinya labil”. Walaupun papa membelaku seperti itu, aku tetap merasa dipojokkan dan langsung masuk kekamar tanpa menghiraukan suara papa yang memanggil namaku.
Keesokannya, papa kembali mengulang keinginannya padaku untuk menutup aurat. Hari itu aku hanya banyak diam saja. “papa takut jika tidak akan pernah melihat anak-anak papa memakai jilbab dan pakaian sebagaimana mestinya seorang muslimah”, akupun membalasnya kali ini dengan nada yang rendah, “tenang saja pa… suatu saat hayra akan memakai jilbab, tapi belum sekarang”. Papa hanya terdiam mendengar jawabanku. Uhuk, uhuk… ma tolong ambilkan minum, uhuk”, papa batuk sambil menutupi mulutnya dengan sapu tangan miliknya. Sudah beberapa hari ini wajah papa terlihat pucat, namun beliau bilang bahwa ini hanya karena agak letih. Sepulang dari tarawih, papa menjadi semakin pucat, dan ketika duduk di ruang keluarga bersama kami beliau tiba-tiba pingsan. Kamipun terkejut, mama langsung menelpon ambulans.
Dirumah sakit, dokter menyerahkan hasil diagnosanya terhadap penyakit papa, kami sangat terkejut mengetahui penyakit yang menyerang tubuh papa, yaitu kanker darah. Didalam ruang rawat, aku mengambil sapu tangan milik papa, kulihat saputangan yang awalnya berwarna biru itu sudah berubah karena terdapatnya bercak-bercak darah. Aku menangis sambil memeluk tubuh papa yang tak bergerak, rasa penyeselan mulai muncul dihati ini. Aku pun terlelap dengan memeluk papa. “zuhayra, hayra…” suara papa lirih memanggil namaku. Akupun terbangun, begitu juga mama dan kakak yang juga tertidur. “maafkan papa ya…”, ucap papa, “kenapa papa minta maaf? Pa… hayra yang harusnya minta maaf, maafkan hayra yang kasar ini ya pa…” jawabku. Setelah itu papa meminta mama dan kakak juga ikut memeluknya. Kamipun berpelukan dengan hangatnya. Tak lama kemudian, papa pun pergi untuk selamanya.
***
Usai shalat magrib, aku pun ikut makan bersama dengan bapak yang merupakan imam masjid ini. Tiiit…. Tiiitt… hp-ku berbunyi, dan dilayarnya tertera tulisan mère, “ya Allah, aku lupa meminta izin pada mama untuk pulang telat” pikirku. Lalu kuangkat telpon dari mamaku, dan terdengarlah suara yang jelas tampak gundah, “hayra… kamu sedang dimana? Kenapa belum pulang nak?”, “maaf ma, hayra lupa bilang kalau hayra singgah ke masjid Al Badr dulu”. “ok, nanti mama akan shalat tarawih berjama’ah disana”. Tuuutt… mama mematikan telponnya. “dari orangtuanya ya?” Tanya sang bapak, “iya” jawabku. Bapak itu lalu bertanya, “bagaimana bisa kamu sampai di masjid ini?”, “begini, uhuk, uhuk… sejak awal ramadhan, seusai belajar dikampus aku selalu singgah di setiap masjid dikota ini, uhuk.. dan kebetulan hari ini hari kedelapan berpuasa dan jumlah masjid disini juga hanya delapan, jadi masjid ini ialah masjid terakhir yang aku kunjungi, uhuk, uhuk…” ujarku sambil menutupi batukku dengan sapu tangan biru milik papa dulu. Sang bapakpun mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu ia melanjutkan pertanyaannya, “kamu sekolah dimana?” akupun menjawab sambil memegang erat saputangan yang terasa basah “di institute Avicenne”, bapak tadi kembali mengangguk sambil melihat pakaianku yang memang seperti anak kuliahan, namun berjilbab, karena memang hanya ada beberapa institusi akademis islam di Perancis, sedangkan di Lille, institute Avicenne merupakan satu-satunya institute islam dan juga terdapat satu sekolah islam tingkat menengah yang dinamakan Lycèe Averroès di kota ini.
Tak lama kemudian, kami pun melaksanakan shalat isya berjamaah. Kali ini aku mencoba untuk khusyuk walaupun batuk dan pusing terus menyerangku, aku mau meneteskan airmata karena kerinduan pada Tuhan, dan memang dibarengi rasa rindu pada papa, aku harus melupakan penyesalanku karena bertindak bodoh dan berujar kasar terhadap papaku sendiri, karena aku yakin papaku yang sangat baik itu telah memaafkan kesalahanku, dan akupun memohon ampun kepada Allah disetiap sujud. Aku benar-benar meneteskan airmata, dan itu terus menetes berbarengan dengan kalimat-kalimat dalam shalatku ini. Hingga pada raka’at terakhir, pandanganku menjadi buram, dan kemudian aku tidak dapat melihat apapun, semuanya gelap, badanku terasa berat dan tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku sendiri.
***End***